Polri baru-baru ini berhasil membongkar dan melakukan penyergapan jaringan teroris di Nangroe Aceh Darusalam.
Jaringan teroris di Aceh Besar diduga memiliki hubungan dengan kelompok gembong teror pimpinan Noordin M Top yang tewas dalam penyergapan oleh Densus 88 Polri, beberapa waktu lalu di Solo, Jawa Tengah. Kelompok teroris di Aceh yang kini terus diburu pasukan Densus 88 merupakan gabungan kelompok Pandeglang. Cilacap, dan Sulawesi (Poso) yang sering membantu Noordin melancarkan aksi teror di Tanah-Air.
Namun hal ini perlu kita lihat dengan seksama bahwa keberadaan terorisme di Aceh dengan jumlah yang begitu besar seakan-akan mengejutkan semua pihak. Sebagian kalangan memiliki pemikiran lain terhadap ditemukannya aktivitas yang diduga sebagai terorisme di Serambi Mekah tersebut.
Adanya kemungkinan bahwa semua ini merupakan rekayasa polisi juga terlintas di pikiran sebagian orang. Hal ini didasarkan pada analisa bahwa upaya mewujudkan terorisme di Aceh adalah sebagai pintu masuk yang kemudian akan digunakan oleh polisi untuk dapat menguasai kembali negeri Aceh, dimana selama ini penguasaan kegiatan operasi dan obyek-obyek vital di Aceh cenderung masih berada di bawah kendali militer.
Dengan menciptakan skenario bahwa Aceh merupakan daerah yang rawan aktivitas terorisme, dimana di wilayah Aceh Besar juga diidentifikasikan sebagai tempat kamp pelatihan terorisme, sudah barang tentu alasan ini akan semakin melegitimasi keberadaaan polisi di negeri Serambi Mekah tersebut.
Adanya penekanan bahwa hal ini tidak terkait dengan kegiatana aktivitas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) juga semakin memperkuat bahwa polisi berusaha mempertegas bahwa terorisme di Aceh adalah murni domain wilayah mereka dan bukanlah militer.
Timbulnya korban dari pihak kepolisian dengan jumlah 3 orang juga patut kita lihat dari perspektif yang berbeda. Sebagai upaya untuk mendapat simpati dan dukungan rakyat, sebagian kalangan menilai perlu adanya korban jiwa dari pihak kepolisian sehingga nantinya rakyat akan setuju dengan tindakan tindakan dan langkah yang diambil Kepolisian di Aceh.
Entahlah! Terlepas dari siapapun orang-orang yang dilabeli “teroris” itu. Dari manakah mereka berasal. Siapa yang menjadi backing-nya.
Rakyat tidak peduli. Yang diinginkan seluruh rakyat Aceh adalah Tanoh Rencong ini tetap aman. Baru sejenak kami rakyat Aceh menghirup udara segar, tapi kini asap-asap peluru mulai memasuki paru-paru kami kembali. Tak hanya itu, korban yang jatuh bukan saja dari kepolisian dan teroris, tetapi juga rakyat kecil yang tak tahu apa-apa. [Silvina Echa Putri Banda AcehInilah]
Jaringan teroris di Aceh Besar diduga memiliki hubungan dengan kelompok gembong teror pimpinan Noordin M Top yang tewas dalam penyergapan oleh Densus 88 Polri, beberapa waktu lalu di Solo, Jawa Tengah. Kelompok teroris di Aceh yang kini terus diburu pasukan Densus 88 merupakan gabungan kelompok Pandeglang. Cilacap, dan Sulawesi (Poso) yang sering membantu Noordin melancarkan aksi teror di Tanah-Air.
Namun hal ini perlu kita lihat dengan seksama bahwa keberadaan terorisme di Aceh dengan jumlah yang begitu besar seakan-akan mengejutkan semua pihak. Sebagian kalangan memiliki pemikiran lain terhadap ditemukannya aktivitas yang diduga sebagai terorisme di Serambi Mekah tersebut.
Adanya kemungkinan bahwa semua ini merupakan rekayasa polisi juga terlintas di pikiran sebagian orang. Hal ini didasarkan pada analisa bahwa upaya mewujudkan terorisme di Aceh adalah sebagai pintu masuk yang kemudian akan digunakan oleh polisi untuk dapat menguasai kembali negeri Aceh, dimana selama ini penguasaan kegiatan operasi dan obyek-obyek vital di Aceh cenderung masih berada di bawah kendali militer.
Dengan menciptakan skenario bahwa Aceh merupakan daerah yang rawan aktivitas terorisme, dimana di wilayah Aceh Besar juga diidentifikasikan sebagai tempat kamp pelatihan terorisme, sudah barang tentu alasan ini akan semakin melegitimasi keberadaaan polisi di negeri Serambi Mekah tersebut.
Adanya penekanan bahwa hal ini tidak terkait dengan kegiatana aktivitas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) juga semakin memperkuat bahwa polisi berusaha mempertegas bahwa terorisme di Aceh adalah murni domain wilayah mereka dan bukanlah militer.
Timbulnya korban dari pihak kepolisian dengan jumlah 3 orang juga patut kita lihat dari perspektif yang berbeda. Sebagai upaya untuk mendapat simpati dan dukungan rakyat, sebagian kalangan menilai perlu adanya korban jiwa dari pihak kepolisian sehingga nantinya rakyat akan setuju dengan tindakan tindakan dan langkah yang diambil Kepolisian di Aceh.
Entahlah! Terlepas dari siapapun orang-orang yang dilabeli “teroris” itu. Dari manakah mereka berasal. Siapa yang menjadi backing-nya.
Rakyat tidak peduli. Yang diinginkan seluruh rakyat Aceh adalah Tanoh Rencong ini tetap aman. Baru sejenak kami rakyat Aceh menghirup udara segar, tapi kini asap-asap peluru mulai memasuki paru-paru kami kembali. Tak hanya itu, korban yang jatuh bukan saja dari kepolisian dan teroris, tetapi juga rakyat kecil yang tak tahu apa-apa. [Silvina Echa Putri Banda Aceh
PS :
- Saya tidak bermaksud apa-apa mempublish ulang artikel ini, sourcenya sudah saya siapkan, ini hanya sekedar update blog saja.