Monolog Tentang Musik yang Tunggal
Oleh : Yukie Martawidjaya
(Ijin repost neh Om Mod)
Dalam tiga sampai empat bulan terakhir ini, berpuluh-puluh pertanyaan datang kepada saya, baik lisan maupun tulisan melalui SMS, e-mail, Facebook dan beberapa jejaring sosial lain. Tetapi secara umum bisa disimpulkan pertanyaannya hanya punya satu tema, yaitu: “Bagaimana, musik kita ini begitu-begitu saja sekarang. Ke mana lagu-lagu dan musik rock, dangdut, dan lain yang lebih bertenaga?”
Pertanyaan itu sangat sederhana terdengar maupun terbaca, tapi pelik luar biasa untuk menjawabnya. Walaupun sejujurnya, saya bisa dengan mudah menjawab: ”Kalau ingin tahu musik Indonesia yang sesungguhnya, jangan cuma nonton TV dan dengar radio saja! Saya masih dengar kok band-band dan musik-musik yang prima dari anak negeri yang hebat dan luar biasa, seperti karya-karya band-band semacam Seringai, Navicula, Efek Rumah Kaca, Endah N Rhesa, sampai Ridho Rhoma, dan masih banyak lagi.”
Tapi apabila pertanyaan tadi ditujukan bagi musik dan industri musik mainstream kita, maka barulah pertanyaan itu menjadi sangat tidak sederhana dan jawaban menjadi ruwet. Karena persoalan ini menyangkut pasar Indonesia yang sangat besar. Bagaimana tidak besar, konon setiap harinya transaksi RT dan RBT (Ring Tone dan Ringback Tone) bisa mencapai 1,5 juta transaksi. Konon lagi, penjualan satu buah lagu saja dari band Wali bisa mencapai lebih dari 16 juta download, dan masih banyak konon-konon lagi yang lainnya, menceritakan betapa hebat dan bombastis prestasi angka-angka penjualan band-band pop ini. Yang dinilai banyak orang begitu-begitu saja baik dari segi tema, melodi maupun ritme musiknya.
Apakah ini sebuah “kemajuan”? Ataukah ini “kesalahan”? Kalau ini memang kemajuan, kemajuan macam apakah ini? Lalu kalau ini adalah kesalahan, salah siapakah ini? Apakah musisi? Ataukah pihak industri? Atau salah acara-acara TV? Radio-radio? Atau malah terjadi jebakan proses apresiasi masyarakat terhadap karya-karya musik bangsa ini? Wah, pusing apabila kita ber-usaha mengukur dan merunut persoalan ini.
Seperti kita tahu, bangsa Indonesia adalah bangsa yang begitu besar dan heterogen, suku bangsanya banyak, bahasa daerahnya lebih banyak lagi, adat istiadatnya beragam, bahkan kebiasannya dan perangainya berbeda-beda. Lalu kenapa musik-musik yang naik ke permukaan di bangsa yang begini heterogen malah karya-karya yang sangat homogen. Jangan-jangan “persatuan dan kesatuan” yang didengung-dengungkan dengan keras di era Orde Baru dulu diterjemahkan dengan amat salah oleh para pecinta dan pendengar musik di Negara yang kita cintai ini sekarang, sehingga musik yang secara masif bisa diapresiasi oleh masyarakat kita ini harus satu saja, yaitu hanya suka/cinta pada musik yang dimensi bebunyiannya sedikit (kalau tidak mau dikatakan miskin), dan syair dengan tema “cinta jenis kelamin” dengan segala intrik-intriknya (jatuh cinta, mabuk cinta, putus cinta, selingkuh, jadi pacar nomor dua, dan sejenis-sejenis lainnya). Sebegitu minimkah selera rata-rata masya-rakat bangsa ini terhadap kesenian yang namanya musik?
Secara epistemologi, masyarakat, musisi, dan karya musik itu tak terpisahkan. Ia menjadi kesatuan yang sangat mengikat, rumit, unik dan solid. Sangat tidak mung-kin musisi Indonesia membuat karya musik Brazilian yang apik dan solid tanpa pernah tinggal atau bersentuhan dengan bangsa dan masyarakat Brazil. Begitu pula sebaliknya, tak akan pernah mungkin orang Brazil bisa membuat karya musik yang sangat Indonesia bila tak pernah tinggal atau bersinggungan dengan budaya dan masya-rakat Indonesia.
Dengan melihat asumsi tadi, bisa saja kita secara serampangan menyimpulkan bahwa musisi-musisi pop ini terinspirasi oleh semua nilai endapan kehidupan masyarakat bangsa ini. Dan kalau kesimpulan serampangan ini benar, maka kinilah hasil-nya: musik pop yang membuat kalangan musisi dan pendengar serius terdengar menyakitkan.
Kalau kesimpulan yang serampangan itu kita urai lebih mendalam, seharusnya kita semua harus menundukkan kepala dan malu sebagai sebuah bangsa. Bukankah” kemiskinan” lagu-lagu pop ini mencerminkan kemiskinan nilai-nilai bangsa ini terhadap kehidupan dan perikehidupan yang sesungguhnya? Mencerminkan masyarakat yang hanya tertarik dan berpikir tentang nikmatnya jatuh cinta, nikmatnya berselingkuh, enaknya merasa berkuasa dengan memutuskan hubungan percintaan tanpa alasan yang jelas, di mana loyalitas tidak penting lagi, persahabatan tidak bermakna lagi, saling menghargai sudah tidak berguna lagi, dan seterusnya.
Bagaimana mungkin kita bisa menjadi bangsa yang besar, kalau ternyata kita semua memang berputar-putar menjejali otak, batin dan kehidupan kita yang singkat di dunia ini dengan hanya meng-urus urusan kepuasan badaniah dan birahi semata?
Ayo, para musisi, para pelaku industri musik, para kritikus, stasiun televisi, radio-radio, media massa, presiden, menteri kebudayaan dan pariwisata, menteri indus-tri dan perdagangan, dan menteri-menteri lainnya, pemerintah pusat, pemerintah daerah, Komisi X, anggota-anggota DPR lainnya, kalian semua punya kemampuan dan kekuasaan untuk bisa membantu dan mengubah persepsi estetika, nilai-nilai kehidupan dan perikehidupan bangsa ini menjadi maju dan berkembang, lewat musik dan infrastruktur pendukungnya!
Tapi kalian juga punya kemampuan dan kekuasaan untuk membiarkan bangsa ini makin bodoh, hancur dan terperosok ke dalam jurang kisah cinta yang memuakkan!
Rabu, 28 April 2010 09:20 WIB
http://www.rollingstone.co.id/read/2010/04/04/694/13/2/Monolog_Tentang_Musik_yang_Tunggal
Oleh : Yukie Martawidjaya
(Ijin repost neh Om Mod)
Dalam tiga sampai empat bulan terakhir ini, berpuluh-puluh pertanyaan datang kepada saya, baik lisan maupun tulisan melalui SMS, e-mail, Facebook dan beberapa jejaring sosial lain. Tetapi secara umum bisa disimpulkan pertanyaannya hanya punya satu tema, yaitu: “Bagaimana, musik kita ini begitu-begitu saja sekarang. Ke mana lagu-lagu dan musik rock, dangdut, dan lain yang lebih bertenaga?”
Pertanyaan itu sangat sederhana terdengar maupun terbaca, tapi pelik luar biasa untuk menjawabnya. Walaupun sejujurnya, saya bisa dengan mudah menjawab: ”Kalau ingin tahu musik Indonesia yang sesungguhnya, jangan cuma nonton TV dan dengar radio saja! Saya masih dengar kok band-band dan musik-musik yang prima dari anak negeri yang hebat dan luar biasa, seperti karya-karya band-band semacam Seringai, Navicula, Efek Rumah Kaca, Endah N Rhesa, sampai Ridho Rhoma, dan masih banyak lagi.”
Tapi apabila pertanyaan tadi ditujukan bagi musik dan industri musik mainstream kita, maka barulah pertanyaan itu menjadi sangat tidak sederhana dan jawaban menjadi ruwet. Karena persoalan ini menyangkut pasar Indonesia yang sangat besar. Bagaimana tidak besar, konon setiap harinya transaksi RT dan RBT (Ring Tone dan Ringback Tone) bisa mencapai 1,5 juta transaksi. Konon lagi, penjualan satu buah lagu saja dari band Wali bisa mencapai lebih dari 16 juta download, dan masih banyak konon-konon lagi yang lainnya, menceritakan betapa hebat dan bombastis prestasi angka-angka penjualan band-band pop ini. Yang dinilai banyak orang begitu-begitu saja baik dari segi tema, melodi maupun ritme musiknya.
Apakah ini sebuah “kemajuan”? Ataukah ini “kesalahan”? Kalau ini memang kemajuan, kemajuan macam apakah ini? Lalu kalau ini adalah kesalahan, salah siapakah ini? Apakah musisi? Ataukah pihak industri? Atau salah acara-acara TV? Radio-radio? Atau malah terjadi jebakan proses apresiasi masyarakat terhadap karya-karya musik bangsa ini? Wah, pusing apabila kita ber-usaha mengukur dan merunut persoalan ini.
Seperti kita tahu, bangsa Indonesia adalah bangsa yang begitu besar dan heterogen, suku bangsanya banyak, bahasa daerahnya lebih banyak lagi, adat istiadatnya beragam, bahkan kebiasannya dan perangainya berbeda-beda. Lalu kenapa musik-musik yang naik ke permukaan di bangsa yang begini heterogen malah karya-karya yang sangat homogen. Jangan-jangan “persatuan dan kesatuan” yang didengung-dengungkan dengan keras di era Orde Baru dulu diterjemahkan dengan amat salah oleh para pecinta dan pendengar musik di Negara yang kita cintai ini sekarang, sehingga musik yang secara masif bisa diapresiasi oleh masyarakat kita ini harus satu saja, yaitu hanya suka/cinta pada musik yang dimensi bebunyiannya sedikit (kalau tidak mau dikatakan miskin), dan syair dengan tema “cinta jenis kelamin” dengan segala intrik-intriknya (jatuh cinta, mabuk cinta, putus cinta, selingkuh, jadi pacar nomor dua, dan sejenis-sejenis lainnya). Sebegitu minimkah selera rata-rata masya-rakat bangsa ini terhadap kesenian yang namanya musik?
Secara epistemologi, masyarakat, musisi, dan karya musik itu tak terpisahkan. Ia menjadi kesatuan yang sangat mengikat, rumit, unik dan solid. Sangat tidak mung-kin musisi Indonesia membuat karya musik Brazilian yang apik dan solid tanpa pernah tinggal atau bersentuhan dengan bangsa dan masyarakat Brazil. Begitu pula sebaliknya, tak akan pernah mungkin orang Brazil bisa membuat karya musik yang sangat Indonesia bila tak pernah tinggal atau bersinggungan dengan budaya dan masya-rakat Indonesia.
Dengan melihat asumsi tadi, bisa saja kita secara serampangan menyimpulkan bahwa musisi-musisi pop ini terinspirasi oleh semua nilai endapan kehidupan masyarakat bangsa ini. Dan kalau kesimpulan serampangan ini benar, maka kinilah hasil-nya: musik pop yang membuat kalangan musisi dan pendengar serius terdengar menyakitkan.
Kalau kesimpulan yang serampangan itu kita urai lebih mendalam, seharusnya kita semua harus menundukkan kepala dan malu sebagai sebuah bangsa. Bukankah” kemiskinan” lagu-lagu pop ini mencerminkan kemiskinan nilai-nilai bangsa ini terhadap kehidupan dan perikehidupan yang sesungguhnya? Mencerminkan masyarakat yang hanya tertarik dan berpikir tentang nikmatnya jatuh cinta, nikmatnya berselingkuh, enaknya merasa berkuasa dengan memutuskan hubungan percintaan tanpa alasan yang jelas, di mana loyalitas tidak penting lagi, persahabatan tidak bermakna lagi, saling menghargai sudah tidak berguna lagi, dan seterusnya.
Bagaimana mungkin kita bisa menjadi bangsa yang besar, kalau ternyata kita semua memang berputar-putar menjejali otak, batin dan kehidupan kita yang singkat di dunia ini dengan hanya meng-urus urusan kepuasan badaniah dan birahi semata?
Ayo, para musisi, para pelaku industri musik, para kritikus, stasiun televisi, radio-radio, media massa, presiden, menteri kebudayaan dan pariwisata, menteri indus-tri dan perdagangan, dan menteri-menteri lainnya, pemerintah pusat, pemerintah daerah, Komisi X, anggota-anggota DPR lainnya, kalian semua punya kemampuan dan kekuasaan untuk bisa membantu dan mengubah persepsi estetika, nilai-nilai kehidupan dan perikehidupan bangsa ini menjadi maju dan berkembang, lewat musik dan infrastruktur pendukungnya!
Tapi kalian juga punya kemampuan dan kekuasaan untuk membiarkan bangsa ini makin bodoh, hancur dan terperosok ke dalam jurang kisah cinta yang memuakkan!
Rabu, 28 April 2010 09:20 WIB
http://www.rollingstone.co.id/read/2010/04/04/694/13/2/Monolog_Tentang_Musik_yang_Tunggal