Kembali kita dilanda bencana. Ada bencana kemanusiaan karena menganggap remeh gejala alam dan tidak mempedulikan kapasitas perahu motor, atau karena ada orang yang mengira bisa mengemudikan segala sesuatu. Akibatnya, perahu motor tenggelam, dan bersamanya nyawa manusia. Mereka meninggalkan bukan hanya kenangan, tetapi juga tanggung jawab.
Ada pula bencana alam, yang mesti dibedakan dari bencana yang disebabkan oleh ketidakepulian atau keangkuhan manusia. Bumi bergetar, laut berkecamuk, gunung memuntahkan lahar panas. Kita alami seolah bumi di wilayah kita kian rapuh, bak tulang-tulang tua yang mudah patah sini retak sana. Sekali lagi kita pun alami, betapa rapuhnya peradaban yang kita bangun. Rumah yang dibangun dengan keringat dan air mata, kebun dan sawah yang dikerjakan dengan ketekunan di bawah terik mentari disirami hujan, infrastruktur yang akhirnya dikerjakan setelah sekian kali dijanjikan, semuanya hancur dalam hitungan detik.
Sekali lagi kita pun mesti menyaksikan, betapa rapuhnya hidup manusia. Makhluk yang dikandung sembilan bulan, yang kemudian merancang sejuta rencana dan merangkai beribu relasi, dia kehilangan nyawa ditindih reruntuhan, dibakar lahar panas, atau ditelan gulungan gelombang laut yang dahsyat. Nyawa sebagian korban dapat ditemukan, yang lain tak tahu entah di mana. Mereka semua menjadi korban, bayi dan kakek, perempuan dan laki, yang saleh dan penjahat kelas berat. Namun, tidak mustahil sebagian besar dari mereka adalah orang-orang sederhana, yang tidak sanggu membangun rumah yang kokoh bertahan tujuh turunan, membeli tanah yang aman dari kerawanan bencana. Bukan mustahil, sebagian besar dari mereka tidak punya radio atau tak punya waktu untuk memonitor berita. Mereka tidak punya banyak pilihan.
Gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api memang merupakan bencana alam, namun mereka memiliki kaitan yang sangat erat dengan kebudayaan. Alam sebenarnya berbeda dari kebudayaan. Alam adalah sesuatu yang terberi, sementara kebudayaan adalah apa yang dikerjakan dan diolah manusia berhadapan dengan alam. Olah cita, rasa dan raga manusia menghadapi alam, mengapresiasi atau menguasai alam menghasilkan kebudayaan. Entah dongeng dan mitos mengenai manusia purba atau teknologi canggih yang merekayasa struktur genetik, semuanya lahir dari kebutuhan dasariah yang sama, menjawabi realitas alam, kendati semua itu mempunyai dampak yang beraneka.
Alam dan kebudayaan memang berbeda, walau demikian keduanya saling mempengaruhi. Kebudayaan sangat kuat dipengaruhi kondisi alam, dan pada gilirannya meninggalkan bekas pula pada alam. Masyarakat yang hidup di daerah bermusim empat mengembangkan kebudayaan yang berbeda dari orang-orang yang menghuni daerah yang hanya mengenal masa hujan dan panas. Mereka yang tinggal di pesisir pantai mempunyai kebudayaan yang lain dari para kebudayaan penduduk sebuah wilayah pegunungan.
Peradaban yang dibangun manusia sebagai tanggapan terhadap alam pada gilirannya mempunyai dampak pada alam. Pembakaran hutan oleh para pemburu mengubah wajah alam. Demikian pun penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan. Dewasa ini, tanggungan alam atas intervensi manusia menjadi semakin berat dengan akibat yang kian terasa. Limbah industri mengakibatkan polusi air, tanah dan udara. Galian ke perut bumi untuk kegiatan penambangan pada wilayah tertentu tidak tanpa konsekuensi pada pencemaran sumber air.
Karena kebudayaan merupakan tanggapan atas realitas alam yang terberi, maka mestinya, sebagai masyarakat yang hidup di daerah yang harus terus mengalami bencana alam, kita mengembangkan sebuah kebudayaan yang membuat kita lebih matang menghadapi bencana alam. Kita mesti menilai diri sebagai bangsa yang kurang cerdas, apabila bencana yang terjadi hampir setiap tahun menemui kita dalam keterkejutan dan ketidaksiapan. Sampai sekarang, solidaritas masyarakat internasional masih cukup besar membantu kita mengatasi akibat bencana. Namun, kalau kita terkesan tidak pernah belajar dari rentetan ini, mungkin yang akan kita terima hanyalah pernyataan turut bersedih.
Biasanya orang menyebut tiga komponen sebuah budaya, pengetahuan yang dikumpulkan, nilai yang diusung dan struktur yang dikembangkan untuk mempertahankan dan memelihara nilai. Pengetahuan sangat bergantung pada pengalaman dan ketersediaan sarana bantu. Akumulasi pengalamam dan perubahan instrumen dalam ranah pengetahuan mempengaruhi cakupan pengetahuan sebuah masyarakat. Dalam kaitan dengan bencana, yang menjadi unsur pengetahuan bukan hanya soal sebab dan gejala bencana, melainkan juga cara yang semakin efektif untuk menghadapi dan menanggapi situasi pasca bencana. Nilai yang diusung kiranya tetap, yakni hidup manusia yang hendak diselamatkan. Untuk hidup itu alam dikerjakan, entah dengan cara tradisional atau modern. Ketika pengalaman dan instrumen pengetahuan menunjukkan bahwa untuk menyelamatkan hidup di wilayah bencana menuntut perubahan atau penciptaan sejumlah struktur, maka ini perlu dipertimbangkan, dirancang dan dilakukan.
Kita perlu memikirkan secara semakin serius penyebaran kesadaran bahwa kita hidup di daerah bencana. Itu berarti, kita mesti mencari jalan untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang bagaimana mencegah dampak bencana alam dan apa yang mesti kita lakukan kalau memang bencana alam itu terjadi. Teknik membangun rumah sederhana dan murah tahan gempa perlu disebarluaskan. Kecakapan membaca gejala alam dan bereaksi atas informasi mengenai bencana alam perlu menjadi bahan kurikulum di sekolah-sekolah kita. Solidaritas yang spontan namun efektif untuk membantu para korban bencana pun perlu dilatih. Di sini, lembaga-lembaga agama perlu memikirkan kontribusinya. Dan tentu saja, transparansi pengelolaan dana bantuan merupakan satu keharusan moral yang mesti menemukan sistemnya.
Oleh Dr. Paul Budi Kleden
Sabtu, 30 Oktober 2010 | 07:48 WIB
Penulis adalah Staf pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores
Source : http://bit.ly/9eNCyz
Ada pula bencana alam, yang mesti dibedakan dari bencana yang disebabkan oleh ketidakepulian atau keangkuhan manusia. Bumi bergetar, laut berkecamuk, gunung memuntahkan lahar panas. Kita alami seolah bumi di wilayah kita kian rapuh, bak tulang-tulang tua yang mudah patah sini retak sana. Sekali lagi kita pun alami, betapa rapuhnya peradaban yang kita bangun. Rumah yang dibangun dengan keringat dan air mata, kebun dan sawah yang dikerjakan dengan ketekunan di bawah terik mentari disirami hujan, infrastruktur yang akhirnya dikerjakan setelah sekian kali dijanjikan, semuanya hancur dalam hitungan detik.
Sekali lagi kita pun mesti menyaksikan, betapa rapuhnya hidup manusia. Makhluk yang dikandung sembilan bulan, yang kemudian merancang sejuta rencana dan merangkai beribu relasi, dia kehilangan nyawa ditindih reruntuhan, dibakar lahar panas, atau ditelan gulungan gelombang laut yang dahsyat. Nyawa sebagian korban dapat ditemukan, yang lain tak tahu entah di mana. Mereka semua menjadi korban, bayi dan kakek, perempuan dan laki, yang saleh dan penjahat kelas berat. Namun, tidak mustahil sebagian besar dari mereka adalah orang-orang sederhana, yang tidak sanggu membangun rumah yang kokoh bertahan tujuh turunan, membeli tanah yang aman dari kerawanan bencana. Bukan mustahil, sebagian besar dari mereka tidak punya radio atau tak punya waktu untuk memonitor berita. Mereka tidak punya banyak pilihan.
Gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api memang merupakan bencana alam, namun mereka memiliki kaitan yang sangat erat dengan kebudayaan. Alam sebenarnya berbeda dari kebudayaan. Alam adalah sesuatu yang terberi, sementara kebudayaan adalah apa yang dikerjakan dan diolah manusia berhadapan dengan alam. Olah cita, rasa dan raga manusia menghadapi alam, mengapresiasi atau menguasai alam menghasilkan kebudayaan. Entah dongeng dan mitos mengenai manusia purba atau teknologi canggih yang merekayasa struktur genetik, semuanya lahir dari kebutuhan dasariah yang sama, menjawabi realitas alam, kendati semua itu mempunyai dampak yang beraneka.
Alam dan kebudayaan memang berbeda, walau demikian keduanya saling mempengaruhi. Kebudayaan sangat kuat dipengaruhi kondisi alam, dan pada gilirannya meninggalkan bekas pula pada alam. Masyarakat yang hidup di daerah bermusim empat mengembangkan kebudayaan yang berbeda dari orang-orang yang menghuni daerah yang hanya mengenal masa hujan dan panas. Mereka yang tinggal di pesisir pantai mempunyai kebudayaan yang lain dari para kebudayaan penduduk sebuah wilayah pegunungan.
Peradaban yang dibangun manusia sebagai tanggapan terhadap alam pada gilirannya mempunyai dampak pada alam. Pembakaran hutan oleh para pemburu mengubah wajah alam. Demikian pun penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan. Dewasa ini, tanggungan alam atas intervensi manusia menjadi semakin berat dengan akibat yang kian terasa. Limbah industri mengakibatkan polusi air, tanah dan udara. Galian ke perut bumi untuk kegiatan penambangan pada wilayah tertentu tidak tanpa konsekuensi pada pencemaran sumber air.
Karena kebudayaan merupakan tanggapan atas realitas alam yang terberi, maka mestinya, sebagai masyarakat yang hidup di daerah yang harus terus mengalami bencana alam, kita mengembangkan sebuah kebudayaan yang membuat kita lebih matang menghadapi bencana alam. Kita mesti menilai diri sebagai bangsa yang kurang cerdas, apabila bencana yang terjadi hampir setiap tahun menemui kita dalam keterkejutan dan ketidaksiapan. Sampai sekarang, solidaritas masyarakat internasional masih cukup besar membantu kita mengatasi akibat bencana. Namun, kalau kita terkesan tidak pernah belajar dari rentetan ini, mungkin yang akan kita terima hanyalah pernyataan turut bersedih.
Biasanya orang menyebut tiga komponen sebuah budaya, pengetahuan yang dikumpulkan, nilai yang diusung dan struktur yang dikembangkan untuk mempertahankan dan memelihara nilai. Pengetahuan sangat bergantung pada pengalaman dan ketersediaan sarana bantu. Akumulasi pengalamam dan perubahan instrumen dalam ranah pengetahuan mempengaruhi cakupan pengetahuan sebuah masyarakat. Dalam kaitan dengan bencana, yang menjadi unsur pengetahuan bukan hanya soal sebab dan gejala bencana, melainkan juga cara yang semakin efektif untuk menghadapi dan menanggapi situasi pasca bencana. Nilai yang diusung kiranya tetap, yakni hidup manusia yang hendak diselamatkan. Untuk hidup itu alam dikerjakan, entah dengan cara tradisional atau modern. Ketika pengalaman dan instrumen pengetahuan menunjukkan bahwa untuk menyelamatkan hidup di wilayah bencana menuntut perubahan atau penciptaan sejumlah struktur, maka ini perlu dipertimbangkan, dirancang dan dilakukan.
Kita perlu memikirkan secara semakin serius penyebaran kesadaran bahwa kita hidup di daerah bencana. Itu berarti, kita mesti mencari jalan untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang bagaimana mencegah dampak bencana alam dan apa yang mesti kita lakukan kalau memang bencana alam itu terjadi. Teknik membangun rumah sederhana dan murah tahan gempa perlu disebarluaskan. Kecakapan membaca gejala alam dan bereaksi atas informasi mengenai bencana alam perlu menjadi bahan kurikulum di sekolah-sekolah kita. Solidaritas yang spontan namun efektif untuk membantu para korban bencana pun perlu dilatih. Di sini, lembaga-lembaga agama perlu memikirkan kontribusinya. Dan tentu saja, transparansi pengelolaan dana bantuan merupakan satu keharusan moral yang mesti menemukan sistemnya.
Oleh Dr. Paul Budi Kleden
Sabtu, 30 Oktober 2010 | 07:48 WIB
Penulis adalah Staf pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores
Source : http://bit.ly/9eNCyz