Masih tentang Jokowi, sepak terjangnya, keputusan-keputusannya (yang tidak bisa menyenangkan semua orang) dan tekadnya dalam membasmi penyalahgunaan Narkoba di tanah air yang menurut informasi sudah sangat memprihatinkan. Saya tidak akan panjang lebar membahas dampak yang akan ditimbulkan dari penyalahgunaan obat-obatan terlarang baik bagi individu maupun bagi sebuah bangsa. Saya yakin semua sudah paham tapi kalau memang ada yang belum paham, silahkan oprek-oprek Mbah Google.
Kosentrasi saya kali ini hanya membahas seputar pendapat istri saya soal pidana mati narkoba yang mana erat hubungannya dengan hingar bingar berita akhir-akhir ini. Berita itu tidak lain adalah tentang duo Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, anggota sindikat narkoba lintas negara yang proses pelaksanaan hukumannya ternyata mengganggu hubungan diplomatik antara Indonesia dan Australia.
Hubungan diplomatik terganggu lantaran permohonan grasi ditolak mentah-mentah oleh Presiden Jokowi. Berawal dari sinilah seruan untuk memboikot Bali muncul di twitter oleh pengguna dari negara Australia. Mereka rata-rata mengecam pelaksanaan hukuman mati yang kita gunakan. Bahkan Perdana Menteri Australia Tony Abbot sampai mengungkit bantuan kemanusiaan Australia untuk Indonesia pasca tsunai Aceh 2004 silam, yang oleh banyak pihak tidak masuk akal. Kalau dipaksakan untuk masuk di akal, maka bantuan di atas bukanlah Bantuan Kemanusiaan. Pernyataan Tony Abbot ini dirasa menghina Bangsa Indonesia. Bahkan sebagian mahasiswa dari Aceh berinisiatif mengumpulkan koin guna membayar Bantuan Kemanusian Australia tersebut.
Hingar bingar hubungan diplomatik Indonesia-Australia soal eksekusi mati pengedar narkoba ini pun jadi bahan obrolan ibu-ibu dan bapak rumah tangga. Seorang ibu bahkan memuji dan mendukung Presiden Jokowi habis-habisan terkait tekadnya memberantas narkoba ini. Simak kisah berikut ini.
“ltu baru keputusan sorang pemimpin yang mencintai keselamatan rakyatnya,” kata Bu Amat memuji, “Narkoba itu bom atom. Bedanya, meledaknya tidak terdengar, akibatnya tidak seketika terjadi, dampaknya tidak menghancurkan bangunan tetapi meluluhkan mental. Jadi Iebih berbahaya, karena itu hukumannya harus tegas dan berat! Hukuman mati sudah tepat sekali untuk memberikan efek jera!", lanjutnya.
Bu Alit terkejut mendengar pendapat Bu Amat. Lalu ia berbisik di telinga suaminya:
“Pak, Bu Amat kok tiba-tiba berubah jadi kejam? Kenapa sekarang dia mendukung hukuman mati? Apa gara-gara presiden pilihannya menolak memberikan grasi pada terpidana mati kasus narkoba? Bu Amat kan orangnya Iembut? Coba tanyakan pada Pak Amat, Pak!”
Pak Alit belum sempat bertanya, Amat sudah mengajak Pak Alit, menolak hukuman mati.
“Pak Alit, kita ini kan ciptaan Yang Maha Kuasa di atas itu. Hidup mati kita terletak di tangan-Nya. Manusia tidak berhak membunuh manusia Iain atas nama hukum. Itu hak mutlak Yang Maha Kuasa! Saya heran, kenapa masih ada pidana mati di dunia beradab, Bukan saja di negeri kita ini, tapi juga di seluruh dunia! Hukuman mati harus ditentangi”
Pak Alit bingung.
“Kalau begitu Pak Amat bertentangan pendapat dong dengan Bu?” Amat terkejut.
“Masak?”
“Ya! Kata istri saya, Bu Amat setuju hukuman mati, untuk membuat orang takutmain narkoba. Barangkali karena ibu mendengar, dua orang keponakan salah seorang warga kita, baru saja meninggal akibat over dosis! Guru anak saya yang agamanya kuat, baru-baru ini ditangkap sebab pengguna narkoba. Ada mobil menabrak mati 9 orang setelah pesta sabu-sabu, anak-anak sekoiah muiai digerayangi narkoba Iewat permen. Kita sudah tersohor sebagai negara distributor narkoba. Ada kampus bahkan Iapas jadi pabrik narkoba. juga ..... ”
Amat tertegun, lalu memotong “Itulah Pak Alit, kalau hukuman penjahatnarkoba ringan, orang jadiberani bisnis narkoba! Dari penjara saia mereka masih pengelola bisnis yang nilainya triliunan itu! jadi harus diberi ancaman tegas, pidana mati" (Cerita disadur ulang dari koran, cerita ini karya Putu Wijaya)
"Ya sudah... dengan berakhirnya cerita di atas, berakhir sudah artikel Kata Istri Saya Soal Pidana Mati Narkoba ini."
"Lha Bang Ancis sudah punya istri?? Yang mana istrinya?"
"Itu... di dalam cerita...."
Kosentrasi saya kali ini hanya membahas seputar pendapat istri saya soal pidana mati narkoba yang mana erat hubungannya dengan hingar bingar berita akhir-akhir ini. Berita itu tidak lain adalah tentang duo Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, anggota sindikat narkoba lintas negara yang proses pelaksanaan hukumannya ternyata mengganggu hubungan diplomatik antara Indonesia dan Australia.
Hubungan diplomatik terganggu lantaran permohonan grasi ditolak mentah-mentah oleh Presiden Jokowi. Berawal dari sinilah seruan untuk memboikot Bali muncul di twitter oleh pengguna dari negara Australia. Mereka rata-rata mengecam pelaksanaan hukuman mati yang kita gunakan. Bahkan Perdana Menteri Australia Tony Abbot sampai mengungkit bantuan kemanusiaan Australia untuk Indonesia pasca tsunai Aceh 2004 silam, yang oleh banyak pihak tidak masuk akal. Kalau dipaksakan untuk masuk di akal, maka bantuan di atas bukanlah Bantuan Kemanusiaan. Pernyataan Tony Abbot ini dirasa menghina Bangsa Indonesia. Bahkan sebagian mahasiswa dari Aceh berinisiatif mengumpulkan koin guna membayar Bantuan Kemanusian Australia tersebut.
Hingar bingar hubungan diplomatik Indonesia-Australia soal eksekusi mati pengedar narkoba ini pun jadi bahan obrolan ibu-ibu dan bapak rumah tangga. Seorang ibu bahkan memuji dan mendukung Presiden Jokowi habis-habisan terkait tekadnya memberantas narkoba ini. Simak kisah berikut ini.
“ltu baru keputusan sorang pemimpin yang mencintai keselamatan rakyatnya,” kata Bu Amat memuji, “Narkoba itu bom atom. Bedanya, meledaknya tidak terdengar, akibatnya tidak seketika terjadi, dampaknya tidak menghancurkan bangunan tetapi meluluhkan mental. Jadi Iebih berbahaya, karena itu hukumannya harus tegas dan berat! Hukuman mati sudah tepat sekali untuk memberikan efek jera!", lanjutnya.
Bu Alit terkejut mendengar pendapat Bu Amat. Lalu ia berbisik di telinga suaminya:
“Pak, Bu Amat kok tiba-tiba berubah jadi kejam? Kenapa sekarang dia mendukung hukuman mati? Apa gara-gara presiden pilihannya menolak memberikan grasi pada terpidana mati kasus narkoba? Bu Amat kan orangnya Iembut? Coba tanyakan pada Pak Amat, Pak!”
Pak Alit belum sempat bertanya, Amat sudah mengajak Pak Alit, menolak hukuman mati.
“Pak Alit, kita ini kan ciptaan Yang Maha Kuasa di atas itu. Hidup mati kita terletak di tangan-Nya. Manusia tidak berhak membunuh manusia Iain atas nama hukum. Itu hak mutlak Yang Maha Kuasa! Saya heran, kenapa masih ada pidana mati di dunia beradab, Bukan saja di negeri kita ini, tapi juga di seluruh dunia! Hukuman mati harus ditentangi”
Pak Alit bingung.
“Kalau begitu Pak Amat bertentangan pendapat dong dengan Bu?” Amat terkejut.
“Masak?”
“Ya! Kata istri saya, Bu Amat setuju hukuman mati, untuk membuat orang takutmain narkoba. Barangkali karena ibu mendengar, dua orang keponakan salah seorang warga kita, baru saja meninggal akibat over dosis! Guru anak saya yang agamanya kuat, baru-baru ini ditangkap sebab pengguna narkoba. Ada mobil menabrak mati 9 orang setelah pesta sabu-sabu, anak-anak sekoiah muiai digerayangi narkoba Iewat permen. Kita sudah tersohor sebagai negara distributor narkoba. Ada kampus bahkan Iapas jadi pabrik narkoba. juga ..... ”
Amat tertegun, lalu memotong “Itulah Pak Alit, kalau hukuman penjahatnarkoba ringan, orang jadiberani bisnis narkoba! Dari penjara saia mereka masih pengelola bisnis yang nilainya triliunan itu! jadi harus diberi ancaman tegas, pidana mati" (Cerita disadur ulang dari koran, cerita ini karya Putu Wijaya)
"Ya sudah... dengan berakhirnya cerita di atas, berakhir sudah artikel Kata Istri Saya Soal Pidana Mati Narkoba ini."
"Lha Bang Ancis sudah punya istri?? Yang mana istrinya?"
"Itu... di dalam cerita...."