Katanya Larangan Mudik Melanggar HAM - Teman-teman pasti sudah tahu apa yang heboh dalam seminggu belakangan ini. Selain virus corona yang sampai saat ini belum ada tanda-tanda untuk pamit, atau tudingan pemerintah tidak transparan soal Jumlah Pasien Covid-19 baik yang terinfeksi, meninggal dan yang sembuh, ada satu kehebohan yang benar-benar mencuri perhatian kita yakni istilah Mudik vs Pulang Kampung. Banyak yang menganggap jawaban Jokowi dalam Talkshow bersama Najwa Shihab itu salah. Mudik ya pulang kampung artinya. Begitu. Tapi dengan berseteru, kita jadinya abai dengan inti sari dari Talkshow ini.
Katanya, Larangan Mudik Itu Melanggar HAM
Menurut saya pribadi, Mudik maupun Pulang Kampung di tengah wabah Covid-19 serta usaha kita memutus rantai penyebarannya menjadi sia-sia. Orang-orang sekampung tentu panik, jangan-jangan mereka yang entah sedang mudik atau pulang kampung ini ada penumpang gelapnya (Corona)? Jadi kalau mau adil, dua-duanya dilarang saja. Titik.
Apakah Larangan Mudik ini tidak melanggar Hak Asasi Manusia?
Jawabanya saya temukan pada tulisan di sebuah laman facebook. Halaman facebook yang terintegrasi dengan Grup Diskusi Dengan Babo ini memang sudah saya ikuti beberapa waktu yang lalu. Ulasan-ulasan di sana menurut saya menarik dan lebih banyak menambah wawasan. Berikut ulasannya terkait Tudingan Larangan Mudik Melanggar HAM :
Pengamat tata negara Refly Harun mengatakan bahwa larangan mudik melanggar Hak Asasi Manusia. Saya tidak mengerti hukum tata negara. Tetapi yang saya pahami dalam konteks ini bahwa menjadi pelanggaran HAM kepada rakyat apabila pemerintah membiarkan rakyat dalam keadaan bahaya dan negara tidak hadir disana.
Contoh, Pemda DKI membiarkan orang tinggal di daerah kumuh, yang jelas berbahaya terhadap kesehatan lingkungan, itu bisa masuk pelanggaran terhadap HAM. Mengapa? Dana ada untuk memperbaiki lingkungan bagi mereka yang tinggal di bantara kali. Tetapi DKI tidak berbuat apa apa.
Begitu juga dalam konteks larangan mudik, itu karena ada pandemi COVID-19. Dasar hukumnya PP PSBB. Bayangkanlah, mudik itu sudah menjadi tradisi budaya orang Indonesia. Peristiwa mudik adalah terjadinya eksodus orang kota ke desa secara massive. Terjadi dalam kurun waktu bersamaan di seluruh Indonesia. Semua stasiun kereta dan bus, termasuk bandara akan crowded. Penyebaran virus sangat mungkin terjadi di tengah kerumunan orang banyak itu. Apalagi mereka yang mudik itu dalam keadaan lelah, dan jelas imunnya juga turun. Sangat mudah terjangkit virus.
COVID-19 sudah menjadi pandemi global. Protokol social distancing itu ditetapkan oleh WHO yang tentu sudah berkoordinasi dengan HAM-PBB. Jadi kalau kita tidak patuh kepada WHO, maka pemerintah akan diseret ke mahkamah HAM international, karena dianggap membiarkan rakyat terancam resiko tanpa mitigasi apapun. Dampaknya sangat buruk. Surat utang kita bakal tidak laku dan kita bisa delisting di bursa global. Negara terancam bahaya dan chaos tidak bisa dihindari kalau kita kehilangan akses financial resource.
Saran saya, dalam situasi darurat sekarang ini, kaum terpelajar harus digaris depan mencerahkan masyarakat, bukan malah menciptakan kebingungan dan menempatkan negara dalam keadaan yang sudah sulit semakin sulit.
Pada saat inilah tanggung jawab kaum terpelajar ambil bagian bela negara, bela bangsa dengan menciptakan rasa persatuan dengan mendukung program pemerintah keluar dari krisis dan pandemi ini. Semoga.
***
Sebagian tulisan ini sudah dipublish di Laman Facebook Erizeli Jely Bandaro
Pada 26 April 2020 dengan judul "Larangan Mudik, Hak Asasi Manusia"
Bertanya tapi tidak tahu siapa didepannya
Paling tidak ya ada rasa adabnya
Ingin mempermalukan justru malu sendiri :D
KK di Kampung, ya pulang biar dapat bantuan.
KK di kota, ortu di kampung, ya mudik.