BANGANCIS.WEB.ID - Pada kesempatan ini saya coba menghadirkan pengalaman pribadi yang saya janjikan di tulisan sebelumnya. Buat yang belum membacanya, teman-teman bisa mampir ke artikel Mungkinkah Saya Mengidap Skizofernia? Begini Kisahnya!
Seperti yang sudah saya singgung di artikel sebelumnya, setidaknya ada tiga peristiwa aneh yang saya alami yang hingga hari ini belum benar-benar saya mengerti.
Foto by Pixabay |
Tiga peristiwa tersebut di atas melahirkan kecemasan dan ketakutan yang berlebihan dalam diri saya. Dua di antaranya memaksa saya harus kabur, tapi bukan berarti lari dari kenyataan.
Sementara untuk peristiwa ketiga sejatinya sedang saya alami saat ini. Paling tidak, sepengetahuan saya, ketakutan dan kecemasan ini mulai terasa sejak awal tahun 2023 hingga malam ini, saat saya menuliskan artikel ini, Jumat 21 Juli 2023.
Untuk kali ini, saya coba menghadirkan kisah pertama yang saya alami di perantauan, tepatnya ketika saya mencari sesuap nasi di Kota Pahlawan.
Sekitar akhir tahun 2008, setelah lamaran kerja saya diterima sebuah perusahaan di Denpasar, saya dan empat orang teman dikirim oleh atasan untuk merintis sebuah cabang di Kota Surabaya.
Kami berlima masing-masing diberi tugas dan tanggung jawab tersendiri. Dua orang cewek didapuk menjadi kasir, satu teman cowok jadi supervisor, satunya di bagian penjilidan, dan saya sendiri di bagian komputer (printing dan internet).
Singkat cerita, kami semua bekerja dengan begitu kompak dan penuh kehati-hatian demi menjaga kepercayaan yang diberikan, mengingat pimpinan kami berdomisili di Denpasar.
Karena sering berinternet ria, saya lalu mengenal apa itu blogging. Saya juga akhirnya mengenal dan hijrah ke Facebook setelah sebelumnya lebih betah di Yahoo Mesenger dan Friendster.
Dari Facebook, saya kemudian bisa menjalin pertemanan dengan banyak orang, termasuk beberapa sahabat dan keluarga dari daerah asal saya, Flores, khususnya Larantuka.
Seiring waktu berjalan, ketenangan dan kenyamanan saya dalam dunia kerja mulai terusik. Tiba-tiba saja saya merasa aneh dan asing sendiri. Keakraban dan kekompakan perlahan luntur. Saya juga mulai merasakan kesendirian.
Sebelum lanjut, saya mohon maaf buat mantan rekan kerja yang barangkali sempat membaca tulisan ini. Bisa jadi semua yang saya tuliskan di sini hanya perasaan saya saja. Bisa jadi, saya memang mengidap Skizofrenia.
Lanjut! Perubahan yang terjadi ini bukan tanpa sebab. Demi menjaga kepercayaan dari atasan, saya sering kali tegas dan 'ngamukan' ketika melihat praktik ketidakjujuran.
Tanpa saya sadari, kecemasan dan ketakutan akan keselamatan diri mulai menghantui saya, apalagi beberapa oknum mulai menunjukan sikap kurang bersahabat.
Jika sebelumnya segelas kopi diseruput beramai-ramai, namun seketika berubah. Pada akhirnya sayalah yang menghabiskannya dalam kesendirian.
Selain itu, ada juga banyak ucapan bernada sindiran yang mulai terdengar, meski tidak secara langsung ditujukan pada saya, namun saya merasa semua itu untuk saya.
Beruntung ada beberapa informasi liar yang secara tidak sengaja saya dapatkan yang meminta saya untuk selalu waspada karena saya sedang menjadi target untuk disingkirkan.
Dari sana saya mulai bekerja dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Sekedar ngopi dan makan saja saya nekat nongkrong di warung meski di tempat kerja sudah disiapkan makanan.
Pikiran saya juga ikut-ikutan kacau. Banyak pekerjaan terbengkalai. Sementara suara hati terus menerus menakut-nakuti jika ada sebuah konspirasi yang ingin mendepak, bahkan bisa nekat menghabisi saya.
Ada begitu banyak delusi dan hayalan yang silih berganti menghantui alam pikiran yang pada akhirnya membuat saya tenggelam dalam kesendirian, ketakutan dan kecemasan.
Puncaknya, kecemasan dan ketakutan yang semakin mencekam tersebut memaksa saya untuk kabur. Tepatnya 14 Mei 2012 tengah malam, saya harus pergi dari mess menggunakan Bus Mira. Buktinya bisa dilihat di postingan saya di Facebook.
Tujuan kepergian saya malam itu yakni ke Jogjakarta untuk menemui paman saya (seorang pastor) yang sedang melanjutkan studi di sana.
Setelah dua bulan berada di Jogja, atas saran dari paman, saya akhirnya pulang ke Denpasar untuk bertemu atasan. Almahrum paman juga menyarankan saya untuk pulang kampung saja, mengingat kondisi kesehatan ibu sedang memburuk.
Sayangnya, saya malah lebih menerima tawaran dari atasan untuk bekerja di salah satu perusahaannya di Denpasar.
Sialnya, di tempat kerja yang baru inipun saya kembali mengalami ketakutan dan kecemasan yang sama, yang mana akan saya ceritakan di tulisan berikutnya. Kisah ini juga pernah saya bahas sekilas di tulisan Resign.
Apa benar saya mengidap Skizofrenia? Apakah semua yang saya alami adalah nyata atau hanya halusinasi semata? Entahlah!***